Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Senin, 29 Agustus 2011

Perjanjian yang sangat berat

Allah menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza, perjanjian yang sangat berat. Hanya 3 kali istilah ini dipergunakan dalam Al-Quran, yakni untuk menyebut perjanjian Allah dengan bani Israil, yang untuk itu Allah mengangkat bukit Thursina serta perjanjian Allah dengan Ulul Azmi, Nabi-nabi pilihan di antara para Nabi. Begitu beratnya perjanjian, sehingga Nabi mewasiatkan kepada kita di saat-saat terakhir hidupnya agar memperhatikan amanah ini.


Rasulullah saw berpesan pada Khutbah Haji Wada’ : “Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka para istri tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senangi masuk ke rumah kecuali dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka melakukan kekejian bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah! Kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik.”

Mari kita ingat baik-baik pesan terakhir Rasulullah untuk selalu BERBUAT BAIK. Kita memperlakukan mereka dengan tutur kata dan sikap yang baik. Jangankan dalam berperilaku, untuk berbicara dengan istri kita saja, Allah mengingatkan agar berbicara dengan Qaulan Ma’rufa (Perkataan yang Baik). Perkataan yang baik itu kita kemukakan juga dengan cara yang baik, sehingga tidak ada perselisihan di antara kita. Sesungguhnya setan menyukai perselisihan serta Allah menuntun kita kepada kedamaian dan kebaikan.

Lalu bagaimanakah cara berbicara yang baik dan dengan isi yang baik pula? Bagaimana pulakah caranya berbicara dengan Qaulan Ma’rufa sekaligus dengan cara yang ahsan? Wallahu’alam bisshowab.

Tapi marilah kita simak sepenggal kehidupan rumah tangga Rasulullah saw dengan Aisyah ra. Dari yang paling kecil, Rasulullah saw biasa memanggil istrinya dengan sebutan-sebutan yang romantis, “Wahai yang pipinya merah jambu...”. Terkadang beliau memanggil istrinya dengan sebutan manja, “Yaa Aisy...” atau panggilan, “Ummu Abdullah...” yang membuat Aisyah lebih percaya diri. Rasulullah saw pun terkadang memanggilnya dengan nama lengkap, tetapi tidak pernah menyebut dengan cara yang kasar dan membuat istri merasa tidak dihargai. Perlakuan yang sangat baik itulah yang menyebabkan seorang Aisyah, tidak dapat menahan haru ketika ditanya tentang perilaku Rasulullah saw yang paling berkesan baginya. Aisyah ketika itu hanya dapat menangis, menahan air matanya lalu berkata, “Kanaa qullu amrihi ‘ajabaa...(Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku...)”

Kemudian beliau bercerita sambil menahan tangis haru, “Suatu ketika, dia berbaring bersamaku, sehingga kulitnya bersentuhan denganku. Lalu dia berkata,” Ya, Aisyah. Izinkanlah aku menyembah Tuhanku.” Maka aku berkata, “Demi Allah sesungguhnya aku senang sekali berada di sisimu. Tapi aku juga senang, bila engkau menyembah Tuhanmu.”

Subhanallah, untuk melakukan sholat malam saja, Rasulullah minta izin dari istrinya. Itu bukan berarti untuk sholat atau ibadah-ibadah yang lain kita harus memperoleh surat izin dari istri. Tidak! Tetapi itulah penghormatan yang sangat agung dari seorang suami yang sangat agung akhlaknya dan sangat luhur penghormatannya kepada istri tercinta, Aisyah. Di dalamnya berhimpun kemesraan, kesetiaan, kelembutan, kasih sayang dan penghormatan yang sangat.

Inilah Nabi yang kelembutan akhlaknya mengalahkan kemarahannya. Dialah laki-laki yang ketegasannya membuat para sahabat tidak berani memelintir hukum. Yang keberaniannya membuat para musuh surut langkahnya. Dan kehalusan kata-katanya meluluhkan jiwa. Dia lembut kepada anak cucunya. Dia juga amat lembut kepada para istrinya. Dialah yang menjahit sendiri pakaiannya, dialah yang memerah sendiri susu dari dombanya, yang bahkan untuk sholat malam pun harus meminta perkenan istrinya.
Beliau pernah berkata, “Tidak memuliakan wanita, kecuali laki-laki yang mulia. Dan tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang rendah juga.”

Maka, lihatlah diri kita, laki-laki seperti apakah kita? Termasuk laki-laki macam apakah kita untuk istri kita? Jika sehari-hari kita masih menjadikan istri, sebagai mesin yang tidak pernah kita sapa ruang jiwanya. Agaknya kita masih termasuk golongan orang-orang yang rendah derajatnya. Alangkah sering kita memperlakukan istri seakan-akan mereka tidak punya perasaan, tidak punya pemikiran dan bahkan tidak punya jiwa. Kita menyapa istri hanya jika kita perlu. Selebihnya, tidak ada ucapan terima kasih apalagi permintaan maaf.

Kita hanya tergolong laki-laki yang mulia, apabila kita tahu bagaimana menghargai perasaan dan pikiran istri kita. Kita akan termasuk laki-laki yang mulia, apabila kita tahu bagaimana menyapa jiwa mereka. Sehingga jiwa mereka tumbuh dengan baik dan bukan kering kerontang, gersang penuh dengan penderitaan batin. Kita beri mereka perhatian yang hangat sehingga mereka senantiasa merasa dekat. Hati mereka bertaut dengan kesetiaan, ketulusan, kasih sayang, perhatian dan kesediaan untuk saling mengingatkan.

Akan tetapi sulit bagi kita lemah lembut, bila hati kita belum jernih dalam memandang pasangan. Sebaik apapun dia, bila kita sibuk menuntut, yang tampak hanya keburukan. Tetapi semuanya akan terasa kecil bila kita menerima dia apa adanya. Istri akan menjadi yang tercantik di hati kita, bila kita memaafkan kesalahannya dan menerima kekurangannya. Sebaliknya, istri yang biasa berhias dengan hiasan yang paling menarik sekalipun, tak akan menimbulkan kesejukan. Apabila kita masih sibuk membandingkan dia dengan orang lain atau membandingkan dia dengan angan-angan kita sendiri tentang istri yang sempurna. Begitu pun bagi seorang istri. Suami yang paling setia dan penuh perhatian pun akan menyebalkan jika kita sibuk bertanya, “kenapa dia tidak seperti suami sahabatku?”
Rasulullah saw pernah mengingatkan, “Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak pandai berterima kasih kepada manusia.” Kalau ingin dada kita lebih lapang dan hati bisa lebih mensyukuri keadaan pasangan, belajarlah untuk berterima kasih kepadanya. Cobalah untuk lebih sering bertanya, kepada diri sendiri, sudahkah kita berterima kasih atas kebaikan-kebaikannya selama ini? Jika itu masih sulit kita lakukan, mari kita belajar, untuk menyadari betapa banyak kebaikan yang ada padanya.

Sadarilah, bahwa segelas minuman tidak akan hadir ke hadapanmu, kalau tidak ada perhatian dan cinta kepadamu. Lalu kenapa engkau menganggap peristiwa hadirnya segelas minuman sebagai hal yang biasa-biasa saja? Kenapa engkau tidak mampu merasakannya sebagai isyarat cinta yang hadir dalam bentuk kesediaan melayanimu?

Barangkali, yang membuat kita sulit merasakannya, adalah karena kita sendiri jarang menyadari bahwa kita memiliki banyak kekurangan. Andaikan ia tidak memaafkanmu, bagaimanakah kita mempertanggungjawabkan diri di hadapan Allah. Karenanya sekali waktu, cobalah berlapang dada meminta maaf atas segala kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan. Juga atas kekurangan-kekurangan yang belum bisa kita perbaiki saat ini. Jika kita mengikhlaskan hati meminta maaf, kita akan tahu bahwa kita masih perlu memperbaiki diri. Membuat kita akan lebih rendah hati dan menerimanya sepenuh hati.

Wallahu’alam bisshowab.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

0 komentar:

Posting Komentar